Berapa Banyak yang Bisa Kamu Sisihkan Saat Kerja?


blog sittakarina - berapa banyak yang bisa kamu sisihkan saat kerja

Bukan besaran gaji saja yang penting.

Bukan main girangnya Galuh. Baru lulus kuliah dan diterima kerja di bank besar bilangan Jakarta Pusat (bayangkan, Jakarta!) sebagai phone banking officer. Apalagi, ia bukan sekadar jadi staf customer service biasa. Ia akan menjadi bagian dari  “the dream team” yang mengurus nasabah prioritas.

Kepindahan Galuh dari kampung halamannya di Cirebon pun berlangsung kilat. Sama seperti saat dirinya hijrah ke Jogja untuk menyelesaikan kuliah S1 tiga tahun lalu.

Galuh pernah ke Jakarta, namun baru kali ini ia menyaksikan betapa spektakulernya bilangan Jenderal Sudirman di malam hari.

Ketika dulu mimpi beberapa teman kuliahnya ingin traveling ke New York, ia yang besar di pinggiran Cirebon sudah bahagia jika bisa menjadi bagian dari Jakarta. Bisa bergabung di bank kenamaan yang pusatnya di New York ini ibarat mimpi indah yang tak berakhir!

Tidak sia-sia selama di kampus Galuh bergabung dengan English Club (lantaran tidak punya uang sisa untuk ikut les Bahasa Inggris). Karena, salah satu kualifikasi penting untuk menjadi pegawai di divisi ini adalah menguasai minimal satu bahasa asing.

Galuh bukan satu-satunya anak baru di dream team. Di sana ia berkenalan dengan Shava yang merupakan jebolan sekolah bisnis di Melbourne. Berbeda dengannya yang sama sekali belum mencicipi dunia kerja, Shava pernah menjadi admin perusahaan asuransi Australia menjelang kelulusannya. Ia lalu resign lantaran tidak betah karena jatah traveling-nya jadi terpotong. Galuh kerap takjub tiap kali mendengar cerita Shava yang memiliki kehidupan bertolak belakang dengannya.

Yang paling sederhana saja, di saat ia setengah mati menghafal rute KRL dan angkutan umum sekitar Jakarta Pusat, Shava sudah asyik menjajal tempat seru dengan mobil Alphard dan supir yang disediakan khusus untuk dirinya!

Dua minggu pertama di Jakarta, Galuh syok dengan kehidupan ibukota yang menurutnya serba mahal.

Dengan selembar sepuluh ribuan di kampung, ia bisa mendapatkan nasi, ikan tuna, dan pare oncom pedas. Di Jakarta mana ada makanan semurah itu?

Lebih-lebih, ia kerap diajak Shava menjajal tempat makan yang cara melafalkannya cukup susah, mulai dari Marché sampai Cork & Screw.

Selain itu, Galuh punya kryptonite versinya. Ia paling nggak tahan lihat es krim enak! Karena selama ini jajanannya cuma mentok di Wall’s, begitu punya uang lebih, ia happy berat—kalap, tepatnya—bisa mencicipi berbagai jenis es krim yang nikmat tiada tara. Bagi Galuh, Cold Stone dan Grom Gelato juaranya!

Sayangnya, walau bergaji besar, Galuh merasa uangnya kurang terus. Dulu perasaan di Jogja ia hidup-hidup aja dengan isi dompet yang jauh lebih minim dari sekarang. Kini, dengan sederet kartu kredit, debit, dan ATM di tangan, ia bahkan kesulitan untuk rutin mengirim uang buat Bapak-Ibu di kampung.

Bukan hanya soal makanan, berkantor dekat dengan SCBD bikin Galuh rajin mampir ke Pacific Place demi berburu baju kerja tren terkini. Tak hanya keranjingan, ia pun jadi tahu, ternyata H&M merupakan singkatan dari Hennes & Mauritz. Nggak penting bagi orang kebanyakan, tapi penting buat menjawab rasa penasaran Galuh selama ini.

Kebiasaan boros Galuh pun membuatnya menelan pil yang amat pahit. Saat masuk pertengahan bulan dan uangnya tinggal 300.000, Galuh panik bukan kepalang. Bagaimana caranya survive di kota semahal, segarang Jakarta dengan uang sebesar itu?

Baca juga: Budgeting: Tips Keuangan yang Penting Dikuasai

Galuh merenung lama sambil menyantap nasi pepes jamur di warteg murah-meriah yang agak jauh dari kantor. Ia butuh uang, tapi meminjam dari Shava maupun sesama rekan di dream team bukan pilihan yang disukainya.

Galuh menyadari, gaya hidup hedonis yang dilakoninya selama ini bukanlah sesuatu yang bijak untuk dipertahankan.

Jangankan makan grilled chicken leg di Marché, makan ayam goreng  di kantin basement gedung saja saat ini ia tak sanggup!

Galuh pun jadi rajin menghadang tukang sayur di depan kos-kosan dan membuat daftar menu untuk makan siang dan makan malamnya tiap hari. Ya, ia kini memasak sendiri, kecuali pagi hari yang cukup dengan pisang dan sereal saja.

Walau nggak jago masak, Galuh tetap bersemangat melihat berbagai tutorial di Youtube. Masakan simpel seperti bakmi siram ayam serta oseng tofu dan buncis ternyata tidak sulit dibuat asal ia tahu bumbu dasarnya.

Untungnya, Galuh mampu bertahan sampai tanggal 25 tanpa berutang. Ketika gaji masuk ke dalam rekening, ia tak lagi mengiyakan begitu saja semua ajakan Shava untuk kongkow-kongkow fancy. Cukup satu kali dalam sebulan.

Ia sadar, kondisinya dan Shava berbeda; Shava masih disokong orangtuanya, sedangkan dirinya mesti menyokong Bapak dan Ibu yang sudah makin sepuh. Ia justru merasa dirinya keren dengan jadi berdaya seperti ini 😄💪

Sebagai banker, Galuh pun menyempatkan diri belajar hal baru dari beberapa divisi selantai seraya menunggu shift kerja dimulai. Targetnya adalah menyisihkan 40% dari gaji untuk dikembangkan, entah itu ditabung, beli properti, atau investasi saham.

Kemarin Shava curhat tentang kakaknya yang masih single dan tiap bulan menerima gaji 50 juta dari perusahaan minyak tempatnya bekerja. Namun, karena gaya hidupnya cukup tinggi, kakak Shava hanya mampu menyisihkan 1 juta untuk disimpan dalam deposito tiap bulannya. Padahal, sebentar lagi ia akan memasuki masa pensiun, sedangkan tabungannya bisa dibilang belum cukup.

Kontan Galuh bersorak bangga di dalam hati. Ia yang gajinya tidak sampai setengah dari kakaknya Shava bahkan mampu menyisihkan lebih dari itu!

Mau dapat gaji sebesar apa pun saat kerja, jika tidak dikelola dengan baik ya pasti akan habis juga. 

Ujung-ujungnya akan terasa kurang melulu.

Galuh sadar, ia harus mengubah pola pikirnya terkait uang dan gaji.

Demi masa depan yang lebih baik (dan nggak berakhir seperti kakaknya Shava), kini Galuh dengan sadar “berkorban” di awal. Caranya dengan menjaga lifestyle dan hidup di bawah kemampuan finansialnya.

*) Feature image via Pinterest



Leave a Comment

  • (will not be published)


2 Responses