Burnout? Mungkin Kita Mengalami Ini (dan Bagaimana Cara Mengatasinya)


 blog sittakarina - burnout bagaimana mengatasinyaKelelahan mental bisa merambat ke mana-mana.

Di era serba cepat kayak sekarang, tanpa sadar kita pun ikut bergerak cepat–dan kerap multitasking. Kondisi yang akhirnya–tanpa disadari juga–membuat napas kita selalu ngos-ngosan, jantung berdebar-debar, hingga beberapa kali hampir melewati jadwal penting saking terlalu banyak yang seliweran di kepala.

 

Nesya yang Selalu Merasa “I’m good!”

Ya, sebut saja namanya Nesya (saya sudah janji nggak akan mencantumkan identitas aslinya). Ia seorang desainer grafis di perusahaan multinasional yang suka mendekor bunga di waktu luangnya. Tak cukup dengan dua kegiatan menyita waktu itu, Nesya teman saya yang jadwalnya superpadat kini keranjingan terima order nge-buzz lewat akun Instagramnya. Apalagi, pose dirinya bareng Shula putrinya selalu mendapatkan like terbanyak.

Tak terasa, hari-hari Nesya bergulir cepat—terlalu cepat. Bangun pagi, kerja kantoran, siapkan materi buzz, mendekor bunga, tidur larut, dan bangun pagi lagi–bahkan pas weekend. Dampaknya, quality time bersama suaminya, Raka, perlahan berkurang. Dan wajar saja, Raka tidak suka akan itu.

Nesya kerap merasa dirinya “melayang” saking padat hari-harinya.

Walau melelahkan, tapi semua terasa fun! Sampai demand tak hanya datang dari Raka, tetapi juga dari Shula si putri satu-satunya. Shula merasa ibunya mau menghabiskan waktu bersamanya saat foto-foto saja. Sesuatu yang biasa Nesya lakukan ketika ada job nge-buzz.

Makin bertambahnya tuntutan dan ekspektasi, baik dari keluarga, atasan, maupun klien, bikin Nesya makin megap-megap menjalani hari-harinya walau ia selalu menyahut,“I’m good!”. Uluhatinya mulai terasa perih, eczema-nya di bagian siku kambuh lagi, dirinya jadi mudah adu mulut dengan Raka, hingga puncaknya: jam 3 pagi ia tak mampu “berimajinasi” untuk kerjaan desainnya, lupa menyapa Raka sejak sang suami pulang kantor, dan hampir seminggu ini ia tidak mengecek agenda sekolah Shula!

 

What the Heck Is Burnout Anyway?

Burnout merupakan suatu kondisi di mana tubuh dan jiwa kita dilanda kelelahan parah. Burnout mirip depresi, tetapi bukan depresi.

Jika tak diatasi segera, burnout dapat berkembang jadi depresi.

Burnout adalah stres berkepanjangan, yakni suatu kondisi di mana tuntunan yang kita pikul melebihi kapabilitas kita untuk melakukannya. Kelelahan kronis ini pada akhirnya membuat kita tak bersemangat lagi menjalani kehidupan, mulai dari bekerja sampai berinteraksi dengan orang-orang tersayang.

Jadi, sudah pasti burnout yang dibiarkan dapat berujung pada kehidupan yang berantakan.

 

Ibu Rumah Tangga Juga Bisa Mengalami Ini

Walau saya pernah menjalani fase jadi orang kantoran seperti Nesya, ternyata burnout juga saya alami pas jadi ibu rumah tangga sekarang ini. Berkutat dengan urusan rumah tangga mulai dari memasak (walau cuma 1-2 menu), menulis cerita, blogging, olahraga, mendampingi Harsya dan Nara belajar, sambil mengerjakan kerjaan sampingan lainnya membuat saya kerap kewalahan dan mengalami seperti yang Nesya alami (pas ketemuan, kita pasti curhat kayak ember bocor 😂😂).

Baca juga: Jangan Tunda Lakukan Self-Care untuk Dirimu

Selain kehilangan semangat beraktivitas dan bekerja, burnout juga memiliki dampak emosional yang bikin orang sekitar saya–termasuk saya sendiri–jadi nggak nyaman. Sebentar-sebentar defensif, sinis, nggak sabaran, dan gampang marah.  Korbannya tentu bukan klien atau kolega, melainkan keluarga dan sahabat. Sedih deh lihatnya 😥

 

Apa yang Harus Dilakukan untuk Mengatasi Burnout?

Usulan pertama dan terbanyak soal mengatasi kondisi stres berkepanjangan adalah liburan. Sayangnya, ini hanya bersifat sementara. Sering kali, setelah liburan selesai kondisi yang sama kembali menguasai kita.

Terus, bagaimana dong caranya berhadapan dengan kondisi amat melelahkan ini?

1. Pertama-tama, ikhlas

Mudah mengucapkannya, luar biasa sulit melakukannya 😄

Ikhlas berarti berkenan menerima kondisi diri dan sekitar, lengkap dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya, dengan lapang hati.

Setelah mampu menerima dan berdamai dengan hal-hal yang tak bisa kita ubah, berikutnya:

2. Cukup tidur

Burnout menguras pikiran dan tenaga. Sedangkan, salah satu cara mengembalikan tenaga untuk tubuh dan jiwa adalah dengan cukup tidur di malam hari. Ingat ya, 7-8 jam tiap malam.

3. Belajar berkata “Tidak”

Budaya nggak enakan sebagian orang Indonesia membuat kita selalu terbebani harapan dan tuntutan lingkungan sekitar. Tentukan batas. Tahu kapan kita mengiyakan, dan tahu kapan menegaskan bahwa saat ini cukup. Tentunya, sampaikan penolakan dengan sopan ya. Karena nggak satupun yang mau disolotin ‘kan?

4. Lebih banyak bersyukur

Pasti banyak hal yang bisa kita keluhkan saat menjalani hari-hari. Nah, kalau hanya berfokus pada kondisi nggak enaknya saja, dan enggan untuk melihat bahwa dalam banyak hal kita jauh lebih beruntung, burnout di dalam diri ibarat dapat amunisi baru.

5. Usahakan penuhi work/life balance

Banyak yang bilang yang namanya work/life balance is a myth, or worse, just a bullsh*t. Work/life balance yang sempurna tentunya tidak akan pernah tercapai. Namun, keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan fisik, emosional, dan aktualisasi diri tetap bisa diupayakan, asal kitanya juga realistis. Ketika salah satu sudah berlebihan, kita tahu kapan harus ngerem dan mengembalikannya ke jalur yang benar.

Dengan menjalani kelima hal di atas, nggak hanya Nesya, saya pun perlahan-lahan bisa pulih dari kondisi burnout versi kami masing-masing. Rasanya lega, ibarat beban berat di pundak berhasil diangkat!

 

*) Feature image via Pinterest



Leave a Comment

  • (will not be published)


13 Responses

  1. Ecik

    Pas banget baca tulisan ini dan sadar kalau diri sendiri lagi burnout, makasih kak sitta tipsnya 🙂

    Reply
  2. ini aku merasa relate banget. Tapi dulu kena burnout pas masih single, jadi korban orang terdekatnya dikit dan tuntutan belum terlalu banyak. Emang ikhlas adalah kuntji :p

    Reply
  3. Saya freelancer. Memilih jadi freelancer supaya bisa mengatur jadwal libur sendiri. Ternyata nggak bisa. Saya bisa burnout juga ternyata. Dan sebabnya adalah karena nomer 3, saya nggak enak bilang “nggak” pada tantangan.
    Masih belajar di nomer 1 dulu, ikhlas bahwa tidak semua tantangan harus diambil, apalagi jika kapasitas diri belum mencukupi.

    Reply