Orangtua dan Guru, Bersinergis Mencapai Tujuan Pendidikan


facebook.com_tarasalvia

Agar tujuan pendidikan tercapai, butuh kerja sama guru dan orangtua. Hasilnya tak hanya kecerdasan si anak yang terasah, karakternya pun juga.

Kemarin di tengah beberes dan tata ulang dekor rumah, saya menyempatkan bertemu wali kelas Harsya (kelas 1 SD) untuk menanyakan beberapa hal seputar perkembangan Harsya selama tiga bulan pertama masa SD. Intinya sih ingin memastikan saya memahami harapan sekolah dan kita berdua (ortu dan sekolah) dalam jalur yang sama. Hihihi… namanya komunikasi yaa, mesti terus dibangun secara konsisten agar tetap “nyambung” dan langgeng.

Selama ini saya sudah mendengar cerita dari ibu-ibu yang anaknya masuk ke SD ini, bahwa tidak ada UTS di sekolah (anak diharapkan paham dengan mampu melakukan unjuk kerja, bukan semata dengan mendapatkan nilai bagus saat ujian), belajar tidak melulu teori tapi juga praktiknya dalam kehidupan nyata, sekolah tidak hanya melihat hasil akhir anak namun juga menghargai prosesnya, rasa cinta tanah air dan toleransi terhadap keragaman diterapkan dalam proses belajar sehari-hari. Bisa dikatakan sekolah macam ini, yang memahami kebutuhan dasar siswanya, jaraaaang sekali di Indonesia.

Nah, ketika bertemu Ibu Rini, sang wali kelas, saya langsung memperlihatkan kertas latihan sederhana Harsya di rumah yang selama ini saya susun sendiri dan bertanya,”Cara saya mengajar di rumah benar nggak, Bu?”. Ibu Rini menggeleng sambil tersenyum,”Kurang tepat, Ibu.”. Tentu saja saya agak kaget mendengarnya.

20141022_082742

Dari sinilah Ibu Rini bercerita panjang-lebar tentang nilai-nilai dasar sekolah (core values), fungsi guru, peran orangtua, dan hubungan ketiganya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama, yakni memfasilitasi seluruh siswa untuk menjadi pembelajar yang kritis, kreatif , dan memiliki nilai – nilai serta cinta tanah air:

1. Fungsi guru adalah mengajarkan konsep ilmu pengetahuan. Apabila anak belum bisa, itu merupakan tanggung jawab guru untuk mengajarnya sampai ia paham dan mampu mengerjakan secara mandiri.

2. Peran orangtua di rumah adalah “membumikan” konsep yang diajarkan di sekolah. Menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Memberikan contoh ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata sesuai arahan Program Mingguan yang secara rutin di-email oleh sekolah. Ibarat untuk bisa makan kita memerlukan sendok dan garpu, peran ortu dan guru pun juga demikian. Satu menjadi sendok, satunya lagi jadi garpu. Bukan keduanya jadi sendok. Contohnya, ketika di sekolah diajarkan konsep pola (Matematika), di rumah anak dapat menyebutkan hal-hal apa saja yang mewakili pola. Jawabannya tentu bisa beragam, mulai dari tiap hari terdiri dari siang dan malam secara bergantian sampai  menemukan benda-benda yang membentuk sebuah pola (lantai keramik kamar mandi, kemeja kotak-kotak ayahnya, dsb). Contoh lain, saat mempelajari sifat Ash-Shiddiq (jujur) Nabi Muhammad SAW, anak yang tadinya enggan berkata sebenarnya karena takut dimarahi dapat kita jelaskan mengapa berkata jujur itu baik atau apa akibatnya apabila berbohong.

3. Keberhasilan pembelajaran hanya dapat terwujud dengan adanya interaksi yang berkesinambungan di rumah. Anak lebih lama menghabiskan waktu di rumah ketimbang di sekolah. Jadi, peran rumah untuk membumikan konsep ilmu pengetahuan sangat besar, sangat menentukan.  Ibu Rini mengingatkan, khususnya pada hari Sabtu dan Minggu adalah masa di mana keluarga dapat berinteraksi secara berkualitas karena ayah, ibu, dan anak sama-sama berada di rumah. Jadi, manfaatkanlah kedua hari itu sebaik-baiknya.

4. “Nilai IPS 9 tapi tidak berjiwa sosial.” Sekolah tidak ingin “mencetak” anak seperti itu. Tentunya kita juga nggak ingin kan? Kompetensi anak yang mumpuni, baik secara karakter maupun akademis, tercipta apabila kita tidak mengkotak-kotakkan atau menciptakan sekat antara ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Jadi, kembali lagi, baik guru maupun orangtua  secara sinergis menjalankan perannya masing-masing dimulai sejak anak usia TK dan SD. Mengapa dimulai pada jenjang sedini ini? Karena di situlah masa-masa keemasan tumbuh-kembang anak tengah berlangsung. Fondasi yang kuat justru dibentuk pada masa ini. Kelak ketika mereka makin besar, mereka pun dapat melihat bahwa dunia luar bukanlah sekadar hitam dan putih. Ada area abu-abu juga, yang untuk menilainya dibutuhkan kearifan (wisdom).

Jadi, apakah memberi latihan menulis atau berhitung salah? Tidak, tapi bukan itu yang utama menurut pihak sekolah. Bantu anak-anak menerapkan konsep dalam kehidupan nyata secara bertahap. Bentuk mereka untuk mampu berpikir logis juga bijak.

Ortu mengerjakan beginian 24/7 itu capek lho. Maka itu, para ayah dan ibu jangan lupa break, menyenangkan diri, dan kembali “siap tempur” membantu para bocah ini tumbuh dengan wajah tersenyum dan hati tanpa beban.

Saya jadi ingat perkataan sang wali kelas ketika menutup perbincangan ini,”Apakah tujuan kurikulum tercapai dengan pembelajaran seperti ini? It’s beyond that, Ibu. Untuk akademis pasti tercapai. Tapi, kami tidak semata mengejar itu (akademis saja). Yang juga kami bangun dari anak adalah karakternya, termasuk hal kemandirian, kedisiplinan, dan aspek sosial. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kerja sama dari rumah.”

Terima kasih untuk insight-nya, Bu Rini. Membuka mata sekali!

*) Featured image via Tara Salvia



Leave a Comment

  • (will not be published)


5 Responses

  1. Neneng Rohanah

    mantaff mamanya Harsya… Semangat terus mem-back up Harsya dari rumah… hehehe

    Reply
  2. bhygail

    Mba sitta.. Kalau boleh tau, nama sekolahnya apa ya? Says tertarik dengan kurikulumnya. Thanks for sharing such a precious information anyway.

    Reply
  3. Duh semoga kita bisa jadi penyeimbang yg baik ya… Ujung2nya kita jg sebagai ortu yg pegang peran besar pada suksesnya pendidikan.

    Reply