Jadikan Quarter Life Crisis Batu Loncatan dalam Hidupmu


Blog Sittakarina - Jadikan Quarter Life Crisis Batu Loncatan dalam HidupmuUntuk keluar dari kegalauan ini, ajak si monster berdamai.

Saya ingat momen tak terlupakan itu—titik paling rendah dalam hidup: mengakhiri hubungan 3 tahun pacaran karena kami ternyata tidak sejalan, bergabung di perusahaan IT idaman demi menyibukkan diri (setelah putus cinta), dan mendadak dapat kabar dari Jakarta bahwa Ayah divonis menderita kanker paru-paru stadium 3B.

Saat itu, usia 24, saya merasa semua yang terjadi dalam kehidupan benar-benar nggak pada tempatnya. Serba salah, serba berantakan. Missed every target. Baru mau ngegas dalam berkarier, namun Ayah tentunya butuh dukungan penuh. Pengen kerja di perusahaan multinasional, tapi pikiran lebih suka menyusun cerita ketimbang bikin solusi buat klien.

Belum lagi satu per satu teman naik ke pelaminan, duh… bikin hati makin insecure!

Kebanyakan orang menganggap quarter life crisis adalah sesuatu yang buruk. Monster perusak semua rencana dalam kehidupan. Kenyataannya, fase ini tidak hanya penuh dengan sisi jelek saja. Bukan juga situasi yang membolehkan muncul judgement “Ah, itu pasti gara-gara kehidupan generasi muda sekarang yang mau enaknya aja!” atau yang lebih parah,”Itu pasti karena elo nggak deket sama Yang Di Atas”.

Ketika krisis tersebut terjadi, dengan jatuh-bangun saya pun berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan diri dengan cara ini:

 

Ubah sudut pandang

Ini yang paliiiiing sulit!

Gampangnya sih tinggal salahkan segala hal, kecuali diri sendiri.

Langkah sederhana untuk memulainya adalah dengan melihat keadaan dari sisi di luar diri kita. Saat saya tidak nyaman dengan krisis usia 20-an tersebut, saya membayangkan: bagaimana dengan Ayah yang saat itu lagi excited menjelang pensiun, tiba-tiba divonis penyakit mematikan?

Dengan mengubah sudut pandang, pola pikir pun ikut berganti haluan. Saya tak lagi merasa yang paling menderita di dunia!

 

Kembali ke titik nol

Satu hal yang bikin saya marah sama Tuhan saat itu adalah: kenapa saat saya pulang umrah malah dikasih “hadiah” Ayah sakit kanker? Seharusnya tidak begitu. Seharusnya hidup jadi lebih baik.

Seharusnya… dan banyak seharusnya lainnya.

Hingga akhirnya saya sadar: gila.. sama Tuhan aja, gue pamrih abis!

Setelah semua amarah pecah, saya banyak merenung dan pada akhirnya sampai pada satu keadaan: menerima.

Kembali ke titik nol.

Ikhlas…

…bahwa, ada hal-hal yang tak bisa diubah walau kita sudah berusaha sekuat tenaga.

 

Cari beberapa solusi alternatif

Saat merasa hidup lagi di bawah banget, insting pertama kita kerap membisikkan “Udah, deh. Nggak bakal bisa, mau usaha kayak apa pun!”.

Berbeda ketika kita mampu bersikap ikhlas terhadap apa yang terjadi. Pikiran justru menjadi jernih dan perlahan, ide-ide tak lagi tersumbat.

Merasa nggak cocok sama pacar padahal sudah bertahun-tahun bersama, terus pengennya langsung putus aja. Sebelum impulsif begitu, apakah sudah mencoba beberapa cara untuk menyelesaikannya? Diskusi dengan si dia tentang apa yang mengganjal di hati?

Udah, tapi alot. Jadi, gimana dong?

Blog Sittakarina - Jadikan Quarter Life Crisis Batu Loncatan dalam Hidupmu 2Foto: Bobbo Sintes

Oke, kalau begitu, tanya masukan dari orang-orang terdekatnya (sahabat dia, misalnya), ketika ada masalah seperti ini, bagaimana cara menyelesaikannya (mengingat diskusi nggak mempan)?

Merumuskan beberapa solusi alternatif dengan kepala dingin membuat mental saya lebih siap saat memutuskan, bahkan saat skenario terburuk terjadi. Whoo-sah!

 

Stop membanding-bandingkan

Si monster quarter life crisis akan makin menjadi-jadi saat kita nggak berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Apalagi saat melihat mereka yang berhasil melewati fase usia 20-an dengan mulus.

Kalau sudah begini, jangan kecil hati.

Percayalah terhadap proses yang berlangsung dalam hidup kita.

Mulai dengan lebih mencintai diri sendiri.

Ketika kita mampu mencintai—menerima diri apa adanya, kebiasaan membanding-bandingkan akan berangsur sirna.

 

Jalani hidup bermakna

Dalam kesulitan, kita ditantang untuk merenungi kembali akan satu hal krusial: apa yang kita cari dalam hidup ini?

“But, I’m only 24!” pekik saya saat itu.

Justru inilah saat yang tepat untuk kembali merumuskan apa saja yang membuat kehidupan kita—dulu, sekarang, dan masa mendatang—bermakna.

Satu hal yang saya pelajari, hidup jadi bermakna ketika kita mampu memberi manfaat kepada orang lain.

Belum melihat hasilnya saat ini?

Keep doing good, begitu almarhum Ayah pernah mengatakan kepada saya.

Baca juga: Hidup Mandiri Ternyata Banyak Manfaatnya

Beberapa belas tahun kemudian, kini saya bisa melihat ke belakang sambil tersenyum.

Setelah melewati quarter life crisis, saya justru bersyukur fase ini pernah mengobrak-abrik kehidupan saya.

Tanpa quarter life crisis, saya tidak akan belajar bagaimana caranya keluar dari masalah pelik.

Saya tidak akan belajar untuk lebih menghargai kehidupan.

Ketika semua ini terjadi, kita selalu memiliki minimal dua pilihan: tenggelam atau bangkit. Akan ada ratusan alasan untuk tetap berada di bawah dan menyalahkan (diri, keadaan, orang sekitar). Namun, hanya butuh satu keberanian untuk menerima yang terjadi dan berusaha mengubah jadi lebih baik, sesuai dengan kemampuan kita.

Intinya, sekacau apa pun momen quarter life crisis yang kamu hadapi, percayalah terhadap prosesmu itu, tetap beritikad baik, serta tidak berhenti untuk melangkah ke depan.

Ada yang mampu melewati fase ini dalam waktu singkat—bahkan, terlihat mudah. Ada juga yang berdarah-darah dan hampir kehabisan napas, saking lamanya krisis tersebut berlangsung.

Ingat satu hal: saya, kamu—semua orang tidak sendirian menjalani ini.

Dan pada akhirnya, segala kesulitan ini bisa kamu jadikan batu loncatan untuk menjadi sosok baru yang lebih baik.

When life drags you down, you can either choose to be bitter, or better.

 

*) Feature image: Stock That Rocks



Leave a Comment

  • (will not be published)


22 Responses

  1. Ini yang sedng saya alami sekarang, rasanya hidup ini penuh beban. Apalagi dengan orang2 disekeliling yang selalu bertanya, kapan, kapan, kapan. Its stressfull, tapi kembali lagi ke titik nol.. Ikhlas.. Kita semua akan melewati fase ini dengan baik, dan segera berlalu

    Reply
  2. Anik

    Pernah nangis nangis pertama masuk (ditempat ngajar sekarang) karena buat sy disana tuh gak cocok bgt dg karakter sy. Sempat berpikir ya Allah kok sampe segininya garisin takdir hidup saya dalam kondisi ketika itu ayah sdh meninggal, kakak pertama juga meninggal, jd gak ada teman untuk diskusi masalah pekerjaan, ibu tipe orangnya setuju2 saja dgn keputusan sy. Lama lama saya paham bahwa untuk melewati QLC ini hanya dengan berdamai dg keadaan dan banyakin bersyukur. Sekarang sy jadi lebih bersyukur dgn yg saya dapatkan sekarang. Allah itu maha baik

    Reply
  3. Quarter Life Crisis ketika saya ditimpa penyakit yang sulit disembuhkan, awalnya memang sempat depresi dan stress. hampir setiap hari menangis. Tapi jika berlanjut seprti ini sama saja saya menyia-nyiakan hidup ini. Saya harus maju bergerak, membaut perubahan

    Reply
  4. Deviannisa

    Hai Kaka Sitta. Terimakasih yaa sudah membuat tulisan sekeren ini.

    Reply
  5. Quarter Life Crisis kadang ada yang sadar, ada juga yang nggak sadar. Segala hal banyak berubah dan menuntut diri juga untuk berubah. Maka berdamai memang jalan tengah yang terbaik. Terima kasih banyak share-nya.

    Reply
  6. Arifin

    Quarter life crisis…
    Itu yang terjadi sekarang dalam hidup saya…
    Jatuh se jatuh-jatuhnya
    Iri,dendam dan ga terima yang tuhan tulis dalam hidup saya sekarang.
    Melihat temen padah sukses.
    Cinta yang mulus.
    Pada yang nikah semua…
    Padahal tujuan hidup saya itu sederhana
    Membuka lapangan kerja biar ilmu saya bermanfaat…
    Kendala dana salah satu hal utama yang menjadi kan saya begini…
    Temen-temen yang ga punya niatan kek gitu malah hidup mereka mulus banget…
    😩…ya tuhan

    Reply
  7. Kiyaa

    Terima kasih banyak mba motivasinya dalam tulisan ini. Saat ini sy merasa sedang mengalami quarter life crisis. Menyalahkan banyak hal dan keadaan sekitar. Sulit menerima takdir yg datang dari Tuhan. Putus setelah 6 tahun bersama, kehilangan pekerjaan dengan keputusan sepihak perusahaan, dan orang tua melarang merantau. Disisi lain sudah menyerahkan sepenuhnya keputusan dan harapan sm Tuhan, namun disisi lain masih menyalahkan keadaan.

    Reply
  8. Sejak remaja sampai setua ini saya terus-menerus jatuh bangun. Marah, kesal, dendam!. Tapi tahun ini ssaya dah janji ingin jadi manusia yg lebih baik dan bermanfaat untuk paling tidak lingkungan sekitar saya tinggal. Akhirnya saya pilih ‘berdamai’ dengan Tuhan…tetap aktif berikhtiar mengejar ‘kesuksesan’ tapi hasil dah benar2 saya percayakan kepadaNya 🙂

    Reply
  9. Lena

    Terima kasih tulisannya, kak Sitta. Kebetulan sedang berjuang menghadapi quarter life crisis ini. Perjalanan terasa panjang banget dan nyaris kehabisan napas. Nggak langsung memberi kekuatan ekstra sih, tapi paling tidak saya jadi tahu kalau banyak orang di luar sana yang juga mengalami hal ini. Sekali lagi, terima kasih ya kak Sitta

    Reply
  10. Vivi

    Bagus banget mba tulisannya. Saya jadi lebih semangat ketika menghadapi quarter life crisis ini

    Reply
  11. Fifi

    thank you mbak. tulisan mbak jadi pendobrak keterpurukan saya saat ini. doakan saya ya mbak semoga segera bisa melewati quarter life crisis ini😊

    Reply
  12. Fifi

    thank you mbak. tulisan mbak jadi pendobrak keterpurukan saya saat ini. doakan saya ya mbak semoga segera bisa melewati quarter life crisis ini

    Reply
  13. Hai mbak Sitta, thank’s for the writing :). Suatu hari, aku dan teman-teman sesama pekerja kesehatan mental kompak mengalami quarter life crisis (karena kami seumuran). Peer support juga salah satu faktor yang bisa menjinakkan monster satu ini agar tidak mendorong ke perilaku maladaptif dan mencelakai diri. Rasanya seperti puber tapi lebih kompleks, ya itulah kesan dari Quarter Life Crisis.

    Reply
  14. Terima kasih sudah berbagi, Mbak. Memang benar, kalau fase kacau itu sudah terjadi dan dilalui, bisa menjadi bahan cerita yang penuh hikmah. Lebih seru kalau kita bercerita sudah mulus melalui jalan berliku, ketimbang sudah mulus melalui jalan yang mulus. 😀

    Saya hanya belajar untuk sedang2 saja. Ketika terpuruk, tidak terlalu larut dalam keputusasaan. Ketika di atas, juga tidak terlalu mabuk dan terbuai. Fase terburuk itu bisa mengincar kita kapan saja. Seperti kata Mbak, tak terkontrol – hanya bisa diterima saja. Dengan menerima pun, siapa tahu, kita diberi “hadiah” dari pintu tak terduga.

    Reply
  15. Dulu pernah mengalami quarter life crisis dan yang selalu diajarkan pertama oleh orang tua adalah ikhlas. Ketika kita sudah ikhlas, semuanya bisa berjalan lebih baik. Begitu kata ibuku. Walaupun proses ikhlas itu juga membutuhkan waktu dan proses.

    Reply